Oleh : Jessica HaksT’no
(FanFiction Terbaik 1
Member Challenge KKBTA Mei 2013)
------------------------------------------------------------------
Cast : Okazaki Tomoya
(CLANNAD) | Kasumi (Flame of Recca)
------------------------------------------------------------------
“Huh..membosankan.” Hela
nafasku terdengar berat di antara keramaian disekitar. Aku, Okazaki
Tomoya, seorang murid SMU dari Tokyo yang kini sedang menjalani study tour di
sebuah hutan lindung di kawasan di luar Tokyo. Study tour yang sangat
dinantikan oleh siswa kelasku tapi terasa hampa bagiku. Mungkin karena aku
memang tidak suka bersosialisasi. Entah sejak kapan, aku mulai menganggap dunia
ini sampah yang dipenuhi makhluk kotor macam manusia. Karena itu, aku sama
sekali tak berniat untuk berhubungan baik dengan mereka.
“Hei, Okazaki-san, kali
ini kau dapat tugas mengambil air untuk memasak. Cepat lakukan!”
Suara seorang gadis yang
tak lain ketua kelompokku memperburuk suasana hatiku sore itu. Namun aku tak
mau berdebat panjang lebar dengannya. Segera kuambil ember yang ditunjuknya dan
melangkahkan kakiku pergi.
Sepanjang perjalanan, aku
terus berpikir sambil mengutuk diriku sendiri. Aku menyesali kehidupanku. Aku
terus melamun, dan tak menyadari bahaya di depan mataku. Tanpa sadar, kakiku
melangkah melewati sebuah lereng, yang membuatku terjatuh dengan cepat.
“Mungkin inilah akhir
hidupku.” gumamku perlahan sambil menutup mata.
Bruuk! suara debam yang
keras menghilangkan sejenak kesadaranku. Apa aku sudah mati? Perlahan kucoba
membuka mataku. Gelapnya malam seakan menyadarkanku. Aku tak merasakan sakit
yang parah, hanya rasa nyeri di pergelangan tangan. Jadi kucoba untuk bangun
dari posisiku.
“Untunglah aku terjatuh
di atas rumput yang tebal..” pikirku dengan lega. Tiba-tiba kulihat seorang
gadis bergaun putih duduk di sebelahku.
“Aah…apakah kau malaikat? Jadi aku sudah
mati?” Aku bertanya dengan suara pelan. Gadis itu hanya menggeleng sambil terus
memandangiku.
“Kalau begitu, kau pasti hantu, dan aku
menjadi arwah penasaran disini.”
Gadis itu kembali
menggeleng, sembari mencubit pipiku dengan keras.
“AAUUW!! Hei sakit tahu!! Apa yang kau
lakukan??” Dia memandangku dengan wajah polosnya. Sesaat, aku menyadari, bahwa
aku belum mati. Dan gadis di depanku ini juga bukan arwah penasaran. Maka,
kuberanikan lagi diriku untuk bertanya.
“Hmm..kau tahu jalan keluar dari sini?” Gadis
itu mengangguk. Dia memandang kearah samping sambil berdiri . Perlahan aku pun
mencoba untuk berdiri, walau rasa sakit kembali menjalar ke seluruh tubuhku.
Sejenak aku terkejut. Gadis itu menarik tanganku dan berjalan perlahan. Dengan
sedikit ragu aku mengikutinya. Beberapa puluh langkah kulalui, dan kini aku
terkesiap melihat adegan di depanku. Ribuan kunang-kunang tampak berkeliling di
sekitarku, memunculkan pemandangan yang luar biasa.
“Indah sekali..” desahku perlahan. Aku melihat
kearah samping, dan gadis itu tersenyum melihatku. Senyuman polos yang sangat
manis. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Dia sangat cantik. Rambutnya
hitam panjang dan matanya biru jernih. Dia kelihatan lebih muda dariku. Mungkin
kami terpaut 1 atau 2 tahun. Sesaat aku terpesona melihatnya. Tapi dengan cepat
dia kembali menarik tanganku, menuntunku ke arah sebuah sungai kecil yang
cantik, di mana lebih banyak kunang-kunang berkumpul di sana.
“Ehm.. Kau yakin ini jalan keluarnya?” tanyaku
ragu. Dia mengangguk dan menunjuk kearah sebuah jalan setapak yang sempit.
Tampaknya gadis ini tak bisa bicara.
“Terima kasih banyak , siapa namamu?” Saat
kutanyakan hal itu, dia hanya mendekat sambil memberikan sekuntum bunga putih
kecil yang cantik. Di bawah langit malam, aku tak bisa mengidentifikasikan
bunga apakah itu. Aku pun tak punya pilihan lain dan memasukkan bunga itu ke
kantungku dan kembali berjalan sendiri melewati jalan setapak itu.
Beberapa saat kemudian,
aku berhasil kembali dengan selamat ke camp-ku. Tapi yang terjadi
sungguh di luar dugaan. Bukannya menyambutku, teman-temanku justru memandang ke
arahku dengan mata dingin. Hingga kemudian guru pembimbingku datang dan dengan
kasar memarahiku. Sungguh, aku merasa sangat buruk saat itu. Dan setelah
kemarahan guruku mereda, aku segera berlari masuk ke kemahku.
“Apa mereka tidak
lihat tubuhku kotor dan penuh luka? Tidak adakah rasa kasihan di hati mereka?
Dasar iblis! Untung saja study tour ini hanya berjalan 3 hari. Dan aku
benar-benar ingin segera menyudahi kegiatan bodoh ini!” Aku terus mengomel
sampai menyadari, sekuntum bunga putih jatuh dari sakuku. Kudekatkan senterku
dan kuamati bunga itu dengan seksama.
“Ini..bunga kasumisou bukan?
Apa maksudnya?”
**
Pagi tanpa hujan. Dengan
cepat kutarik badanku dan bersiap-siap. Namun ketika aku keluar dari kemahku,
tak seorang pun berada di sana. Yang kulihat hanyalah seorang kakek tua yang
sedang menyapu halaman dengan asyiknya.
“Ooh, kau sudah bangun. Tadi gurumu mengatakan
kalau kau dihukum tidak boleh mengikuti tour hari ini karena keterlambatanmu
kemarin. Dan mungkin mereka baru akan kembali sore nanti.” Kakek tua itu
berbicara dengan cukup ramah. Tapi keramahannya tidak cukup untuk menyembuhkan
rasa kesal dalam hatiku. Hingga aku teringat akan gadis yang kutemui kemarin.
Siapakah dia sebenarnya?.
Untuk mengusir rasa kesal sekaligus menjelaskan kebingunganku, aku pun mulai
menapaki jalan yang kemarin kulewati. Perlahan, kukeluarkan lagi bunga yang ada
di kantungku itu.
Kasumisou?
Apakah bunga ini
berhubungan dengan namanya? Saat aku meneruskan pikiranku, aku mendengar sebuah
senandung merdu di dekatku.
“Gadis itu lagi!”
Jantungku berdetak cepat. Perlahan kudekati dia.
“Ehm..hai..” Suaraku
terdengar bergetar. Kemudian kulihat gadis itu memalingkan wajahnya dan
tersenyum padaku.
“Anu..soal bunga
kemarin..”
Belum sempat kuselesaikan
perkataanku, tiba-tiba dia menarik tanganku dan berlari dengan cepat. Mau tak
mau aku mengikutinya. Langkahnya yang kecil cukup memudahkanku untuk terus
mengejarnya. Dan kemudian dia menghentikan kakinya. Perlahan, dia menyibakkan
semak-semak di depan kami dan menarikku untuk masuk. Setelah berhasil
melewatinya, aku melihat sesuatu yang hebat.
Hamparan rumput yang luas
dan ditutupi ilalang yang cantik membentang dihadapanku. Banyak bunga
bertebaran di sana, membuat segalanya tampak begitu memikat. Udara yang
berhembus pelan juga terasa sangat nyaman. Pendek katanya, tempat itu bagaikan
surga. Beberapa saat aku kehabisan kata-kata. Tapi begitu melihat gadis itu
berlari ke tengah rerumputan, aku langsung tersadar.
“Namamu…Kasumi-kah?” aku bertanya padanya. Dia
hanya mengangguk cepat dan tersenyum padaku. Melihatnya begitu bersemangat
membuat bibirku sedikit terangkat. Kupetik sekuntum bunga yang indah. Perlahan
aku memasangkan bunga itu di daun telinganya.
“ Cantik sekali..” desahku perlahan. Gadis itu
menunjukkan senyum yang polos, sambil kembali berjalan ke depan kumpulan bunga
kasumisou. Dia memandangku dengan lembut kemudian menunjukku seakan-akan dia
ingin tahu siapa diriku
“Namaku Okazaki Tomoya,
dari Tokyo. Senang berkenalan denganmu, Kasumi-san.”
Kasumi tersenyum, tapi sesaat kemudian dia
menggeleng. Aku tak paham maksudnya. Kemudian dia memintaku untuk memanggilnya
lagi.
“Kasumi-san?” kukeluarkan suaraku. Dia kembali
menggeleng.
“ah.. Kasumi-chan?” kataku ragu. Gadis itu
mengangguk dengan senang sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya yang
cantik. Aku tertawa melihat tingkahnya. Bersama Kasumi membuat perasaanku
membaik. Beberapa saat kulewati dengan gembira, sampai aku melihat dia
memandangi sesuatu dengan murung.
“Ada apa?” tanyaku dengan lembut. Dia hanya
menggeleng dan kembali memandang kearah yang sama. Dia berjalan ke depan sebuah
pohon.
Dengan pelan ditunjuknya
sebuah ukiran di batang pohon itu. Aku hanya tertegun membacanya.
“Burung yang tak bisa terbang, apakah masih
disebut burung?” Kucoba mengucapkan tulisan yang ditunjuknya. Dan
saat aku menoleh ke Kasumi, dia hanya memandangku dengan wajah penuh kesedihan.
Aku hanya terdiam tanpa bisa mengucapkan apa pun.
“Tampaknya kau
punya masa lalu yang suram, sama sepertiku.” Akhirnya aku angkat bicara. Dia
hanya melihatku dengan pandangan yang suram.
“ Dulu..” aku mulai menceritakan masa laluku.
“Dulu, aku termasuk anak yang periang dan
mempunyai banyak teman. Keluargaku sangat bahagia. Ayah dan ibuku hidup rukun
dan sangat menyayangiku.”
“ Tapi, sejak saat itu, kehidupanku berubah.”
lanjutku.
“Perusahaan ayahku bangkrut. Ayah dan ibuku
sering terlibat pertengkaran. Mereka mulai melupakanku. Dan tepat di hari ulang
tahunku yang ke 11, ibuku meninggalkan kami. Sejak saat itu ayahku mulai
mabuk-mabukkan, dan setahun kemudian, dia meninggal.”
Kasumi melihatku tanpa
berkedip. Dia seakan ikut merasakan kesedihanku.
“Sejak saat itu, aku tinggal bersama
kerabatku. Tapi mereka sama sekali tak pernah memperdulikanku. Yang mereka
pikirkan hanya mencari uang. Bahkan uang asuransi ayahku mereka ambil
seenaknya. Lalu, aku mulai menganggap dunia ini sampah. Dunia yang
dipenuhi makhluk-makhluk yang tak punya perasaan ini hanya berisi penderitaan.
Karena itu, aku tak tertarik untuk berteman dengan siapa pun. Karena aku tahu,
di dunia ini tak ada yang bisa kupercaya.” Kuakhiri kisahku. Kupandang lagi
gadis disebelahku. Dia tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“ Kau... puas?” Sebuah
suara kecil terdengar pelan. Aku terkejut.
“Kau-kah yang bicara, Kasumi?? Kukira kau tak
bisa bicara??” Aku bersiap memberondongnya dengan berbagai pertanyaan. Tapi
Kasumi menutup bibirku dengan cepat.
“Aku tak pernah bilang kalau aku tak bisa
bicara.” Dia menjawabku dengan tegas.
“Lalu kenapa kau tak pernah bicara padaku?”
Aku mulai merasa tak sabar.
“Karena aku tak ingin bicara.” Jawabannya
membuatku benar-benar bingung.
“Apa kau puas dengan kehidupanmu yang
sekarang?” Dia mengulang pertanyaan yang sama. Aku terdiam.
“Ya..mungkin.“ Aku
menelan ludah. Mungkin. Aku masih belum yakin bahwa inilah yang kuinginkan. Aku
sendiri tidak pernah merasa bahagia.
“Kau tidak puas. Aku tahu sebenarnya kau
sangat ingin kembali ke kehidupanmu yang dulu. Semua itu terlihat di matamu,
Tomoya-kun.” Kasumi menatapku dengan tajam. Seakan dia mengerti segalanya
tentangku. Aku menutup mataku dan memikirkan perkataannya.
“Ya, kau benar Kasumi-chan. Aku memang
munafik. Aku ingin hanya ingin sebahagia dulu.” Akhirnya aku mengakui perasaanku.
“Tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku tak tahu harus menjadi seperti apa untuk mengembalikan kehidupanku.”
lanjutku. Kasumi tersenyum tipis. Dia memegang kedua tanganku dengan lembut.
Suaranya yang manis kembali menyentak dadaku.
“Percaya. Hanya itulah jalan satu-satunya. Kau
harus belajar untuk percaya pada seseorang.”
Aku menunjukkan tatapan
tidak setuju. Tapi dengan segera dia melanjutkan kata-katanya.
“ Aku tahu kau sudah terlalu banyak menderita.
Tapi itu bukan alasan untuk menutup hatimu. Memang kita tak boleh sepenuhnya
percaya pada orang lain. Tapi cobalah berikan sedikit rasa percaya itu, maka
kau juga akan mendapatkan rasa percaya dari mereka.”
Aku termenung. Mungkin
ada benarnya ucapan Kasumi.
“Baiklah, aku percaya padamu, Kasumi” Akhirnya
untuk pertama kalinya setelah 5 tahun, aku mengucapkan kata itu. Wajah Kasumi
terlihat gembira. Matanya berbinar dengan indah. Dan aku baru menyadari, beribu
kunang-kunang kembali terbang ke sisi kami, menandakan hari mulai malam.
“ Ah, tampaknya aku harus segera kembali.
Besok aku akan datang lagi. Sampai jumpa.”
Kasumi kembali tersenyum
padaku sembari melambaikan tangannya.
Aku sedikit lega saat
melihat bus sekolahku baru saja kembali. Dan artinya aku tiba tepat waktu.
Kulihat wajah-wajah yang puas turun dari pintu bis. Aku menghela nafas.
Beberapa menit kemudian, mereka mulai sibuk mengurusi makan malam. Saat
kupalingkan wajahku, kulihat ketua kelompokku sedang kesulitan menyiapkan api
unggun.
“Percayalah!” Aku teringat perkataan
Kasumi. Tanpa membuang waktu segera kuhampiri dia.
“Butuh bantuan?” kucoba bertanya dengan ramah.
“Oh, Okazaki-san. Sepertinya iya. Bisakah kau
membantuku?” Aku mengangguk. Dengan cepat dan hati-hati aku membantu
pekerjaannya hingga selesai.
“Terima kasih banyak, Okazaki-san, dan aku
punya sedikit oleh-oleh untukmu” Gadis itu mengeluarkan sebuah kotak berisi
kue-kue kecil.
“Aku minta maaf, kemarin aku menuduhmu yang
tidak-tidak. Setelah kupikir lagi, kau tak mungkin kabur begitu saja
meninggalkan tanggung jawabmu.” Wajahnya terlihat menyesal.
“Berikan sedikit rasa percaya itu, maka kau
juga akan mendapatkan rasa percaya dari mereka” Kini aku memahami perkataan
Kasumi. Aku pun menerima hadiah itu dan tersenyum.
“Terima kasih.” Aku mengucapkan kata-kata itu.
Wajah ketua kelompokku langsung berubah. Dia terlihat lega. Setelah itu pun,
aku mulai bisa berinteraksi dengan baik dengan teman-temanku. Dan untuk
pertamakalinya setelah sekian lama, aku merasakan dunia bersahabat
denganku.
**
Pagi yang indah, hari
terakhir dari study tour-ku, yang berarti hari terakhirku bertemu dengan
Kasumi. Entah perasaan apa ini, tapi aku benar-benar tak ingin berpisah dari
Kasumi. Aku mulai menyadari bahwa Kasumi sangat berharga bagiku. Rasa ini bukan
rasa terima kasih. Dan rasa itu mendorongku untuk diam-diam meninggalkan
teman-temanku. Aku berlari melewati jalan setapak yang penuh kenangan itu
sambil menggenggam sebuah kotak kecil di tanganku. Setelah lama mencari, akhirnya
aku menemukan Kasumi sedang melamun di depan pohon berukiran itu. Perlahan
kudekati dia dan kuelus perlahan kepalanya. Dia terlihat terkejut dan berbalik
ke arahku, dan memberikanku senyuman yang kusukai.
“Hai..” sapaku perlahan. Kasumi hanya memandangku
dengan lembut lalu kembali berpaling kearah ukiran tersebut.
“Burung yang tak bisa terbang, apakah tetap
menjadi burung?” Tanyanya tanpa menoleh.
“Yah..bagiku tanpa sayap pun mereka tetaplah
burung.” Aku berkata santai. Kasumi menoleh. Dia menatapku dengan tajam.
“Mengapa?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Karena bagiku, sayap
bukanlah satu-satunya identitas seekor burung. Walau tanpa sayap, mereka masih
memiliki kaki. Mereka juga masih bisa berkicau dengan paruhnya. Walau tanpa
sayap, mereka masih memiliki banyak kelebihan yang membuatnya bersinar.”
Kasumi tersenyum.
“Apakah makhluk yang tidak diharapkan
sepertiku masih pantas untuk hidup?” tanyanya lagi. Aku terhenyak.
“Apa maksudmu?” tanyaku
dengan bingung. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Tapi matanya memancarkan
kesedihan yang mendalam.
“Tak apa-apa, terima kasih Tomoya-kun” Dia
berusaha menutupi kesedihannya. Walau aku tak paham, tapi aku tak mengungkitnya
lagi.
“Tidak, Kasumi. Akulah yang seharusnya
berterima-kasih padamu.” Perlahan kubuka kotak kecil yang kugenggam. Terlihatlah
sebuah cincin kecil yang cantik. Cincin yang kubeli di toko aksesoris di dekat
perkemahanku.
“Kasumi, ikutlah
denganku. Aku akan membawamu ke Tokyo bersamaku. Karena.., aku benar-benar tak
ingin berpisah darimu.”
Aku menatap mata Kasumi.
Dia hanya terdiam. Aku melanjutkan kata-kataku.
“Aku, sejak bertemu denganmu, aku merasa ada
yang aneh dengan perasaanku. Dan sekarang aku sadar.” Aku menghela nafas.
“Aku tak bisa hidup tanpamu”
Kasumi tak menjawab apa
pun. Dia hanya menunjukkan pandangan yang sedih.
“Kau mau mendengarkan kisahku?” tanyanya
dengan murung. Aku mengangguk. Kemudian dia meneruskan kalimatnya.
“Dahulu ada seekor anak burung yang dibuang,
hanya karena dia berbeda. Dia tak memiliki“sayap”, dan tak bisa terbang
seperti anak lainnya. Saat dia jatuh dari sarang, tak ada seorang pun yang
mencarinya. Dan hingga saat kematiannya, dia menyadari. Tak akan ada yang
menangisinya,karena dia tak pernah diharapkan.” Kasumi kembali memandangku
dengan sedih.
“Akulah burung itu.”
Kisah Kasumi membuatku
tersentak. Gadis kecil ini ternyata memiliki masa lalu sesedih itu. Entah
kenapa, tanganku bergerak sendiri dan memeluknya.
“Kau mengatakan
bahwa tak akan ada seorang pun yang menangisimu, Kau salah!”
“ Walau hanya satu orang,
tapi pasti ada yang akan bersedih saat kau pergi.”
Mendengar perkataanku,
dia kembali terdiam.
“Dan bila memang tak ada seorang pun yang
mengingat dan memperdulikanmu,”
“Maka akulah yang akan menangis untukmu.”
Gadis itu tersentak.
“Akulah yang akan merindukanmu saat kau pergi.
Akulah yang akan cemas saat kau sakit. Akulah yang akan menjagamu siang dan
malam. Akulah yang akan jadi kekuatanmu.”
Mata Kasumi mulai basah.
Beberapa isakan terdengar dari mulut kecilnya.
“Semua itu akan kulakukan, Tidak, apa pun akan
kulakukan untukmu.”
“Karena, AKU MENCINTAIMU, Kasumi.”
Maka meledaklah tangis
gadis polos situ. Tangisannya yang keras membuatku mendekapnya lebih erat.
Hingga tangisnya berhenti, aku akan tetap disampingnya.
Beberapa waktu terlewati.
Kasumi mulai bisa mengendalikan air matanya. Kami berpandangan cukup lama. Dan
akhirnya, kami pun tertawa bersama-sama.
“Ikutlah denganku, Kasumi. aku akan menjagamu
dengan seluruh hidupku.” Aku memasangkan cincin itu ke jari manis Kasumi.
Kasumi tersenyum.
“ Terima kasih Tomoya-kun.” Kemudian gadis itu
menunduk dan menghela nafas.
“Tapi aku tak bisa pergi denganmu.” Kata-kata
yang tegas itu seakan menghancurkan hatiku.
“Mengapa? Mengapa Kasumi??” tanyaku dengan
panik. Tapi kejadian setelahnya, seakan menjawab pertanyaanku. Tubuh Kasumi
terlihat transparan , seakan dia akan menghilang.
“Terima kasih banyak, Tomoya. Terima kasih.
Kau telah menyadarkanku tentang apa yang terpenting dalam hidupku.” Air mata
mulai membanjiri pipiku. Kugenggam erat tangannya.
“ Aku sangat bahagia karena aku bisa
mengenalmu Tomoya-kun. Walau hanya sebentar, tapi kau telah membuat duniaku
terasa sangat indah.” Butir-butir air mata Kasumi menetes.
“Tidaak!! Kasumi, tolong jangan tinggalkan
aku!! Kumohon!!” Aku berusaha menahannya.
“Maaf Tomoya-kun, tapi aku harus. Semoga kita
dapat bertemu lagi di lain kehidupan. Dan jika saat itu tiba, aku akan terus di
sampingmu.” Tangisanku semakin kuat. Kusentuh lembut pipinya.
“Tomoya… Aku mencintaimu.” Sesaat setelah
kudengar jawaban Kasumi, kurasakan bibirnya menyentuh bibirku dengan hangat.
Dan berangsur-angkur kemudian, tubuh Kasumi menghilang dalam kerlipan
titik-titik cahaya yang indah, menyisakan sehelai bulu burung dan sebuah cincin
yang indah.
“KASUMII!!!!!” Teriakan
parauku mengakhiri perjumpaan yang tak terlupakan itu.
Jika suatu saat kita bertemu lagi,
saat itu aku akan menyokongmu dengan seluruh hidupku.
Aku percaya padamu, Kasumi. Karena itu,
aku akan terus menunggumu
Memories~ A Bird Who
Cannot Fly~
-END-
-------------------------------
Tentang Penulis
Jessica Hartono. Terlahir lima belas tahun silam di Blitar.
Merupakan sosok yang moody, imajinatif namun mudah bosan. Menyanyi dan membaca
adalah hobinya. Mulai tertarik di bidang menulis pada saat menginjak umur 15
tahun. Inspirasi yang didapatnya kebanyakan berasal dari mimpi. Memiliki cukup
banyak ide , namun, seringkali berhenti melanjutkan ceritanya dikarenakan sifat
moody-nya yang selalu kumat. "Memories~ A Bird Who Cannot Fly ~"
adalah karya bergenre Romance pertamanya yang berhasil diselesaikan. Bisa
dihubungi lewat facebook jessica.h.tno@facebook.com